dc.description.abstract | Mahasiswa adalah aktor yang mengenyam pendidikan tertinggi di dunia
pendidikan. Mahasiswa dituntut untuk menjunjung tridarma perguruan tinggi, yaitu
belajar di kelas formal, melakukan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Mahasiswa diminta untuk berkontribusi secara aktif di masyarakat dan dituntut untuk
beradaptasi dengan dinamika global yang dinamis seiring berjalannya waktu. Agar
mahasiswa tersebut mampu menjawab dinamika global yang bergerak dinamis,
diperlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan permasalahan tersebut.
Salah satu cara mahasiswa dalam mengasah kemampuan tersebut adalah
dengan adanya mata kuliah Kerja Praktik. Mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib
yang memiliki bobot sebanyak 2 (dua) Satuan Kredit Semester (SKS) dan menjadi
komponen dalam memenuhi kriteria sebagai sarjana Hubungan Internasional pada
Fakultas Komunikasi dan Diplomasi di Universitas Pertamina. Adanya program kerja
praktik ini dapat menjadi wadah mahasiswa untuk menerapkan teori yang sudah
diajarkan di kelas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah salah satu instansi
pemerintahan yang berfokus menangani permasalahan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Instansi ini menjadi pilihan penulis dalam
melaksanakan mata kuliah Kerja Praktik, karena ketertarikan penulis pada masalah
kebakaran hutan di Indonesia yang berdampak pada masalah internasional.
Di Indonesia, kebakaran hutan terjadi dalam beberapa periode, yaitu pada
tahun 1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010, serta 2011, 2012, 2014, 2016,
dan 2019. Dampak dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian baik dari segi
sosial, ekonomi, kesehatan, dan kestabilan regional ASEAN. Salah satunya adalah
ketegangan antara Malaysia, Singapura, dan negara-negara ASEAN lainnya. Kejadian
kebakaran terbesar pernah terjadi pada tahun 1982-1983. Daerah yang mengalami
kebakaran hutan adalah Kalimantan Timur dengan luas lahan yang terbakar sebesar
210.000 km2
dari seluruh daerah Kalimantan Timur (Firmansyah, 2019). Lalu pada
tahun 1997-1998 adalah periode awal kebakaran hutan secara besar. Penyebab
2
kebakaran ini adalah adanya iklim El-Nino yang mengalami peningkatan pada tahun
tersebut, sehingga mengakibatkan kebakaran di beberapa daerah di Indonesia, seperti
Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua (L., 2003). Menurut perhitungan
awal tahun 1998 silam, sepuluh juta hektar lahan di Indonesia telah hilang akibat
kebakaran hutan tersebut.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 tersebut menjadi cikal bakal
ASEAN dalam menyusun dan menyepakati ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution. Kesepakatan ini disetujui pada tahun 2002 dan mulai dilaksanakan oleh
negara ASEAN pada tahun 2003. Indonesia sendiri baru meratifikasi kesepakatan
tersebut pada tahun 2014 dan menjadi negara terakhir di ASEAN yang meratifikasi
kesepakatan tersebut. Alasan Indonesia baru meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun
2014 adalah alasan ekonomi dan politik. Alasan ekonominya adalah karena para
perusahaan yang terlibat pada kebakaran hutan adalah perusahaan yang menyumbang
devisa terbesar bagi negara dan alasan politik yang menyebabkan tertundanya ratifikasi
AATHP adalah penolakan ratifikasi yang dilakukan oleh DPR (Fachrie, 2015).
Indonesia meratifikasi AATHP melalui UU No 26 Tahun 2014 (Afni & Afrizal, 2015).
Meskipun Indonesia telah meratifikasi kesepakatan AATHP, masalah kabut
asap antar batas negara masih terus berlanjut, bahkan hingga pada tahun 2015 adalah
menjadi tahun yang terburuk sejak tahun 1997 (Aditama & Hapsari, 2019).
Penulisan laporan ini ditujukan untuk menganalisis teori sekuritisasi yang
dilakukan Indonesia dalam menghadapi permasalahan kabut asap lintas batas negara. | en_US |