Show simple item record

dc.date.accessioned2021-02-15T02:20:03Z
dc.date.available2021-02-15T02:20:03Z
dc.date.issued2021-01-15
dc.identifier.urihttps://library.universitaspertamina.ac.id//xmlui/handle/123456789/3009
dc.descriptionPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara analisis mengenai disfungsi yang dialami IAEA sebagai organisasi Internasional dalam mengontrol dan mengawasi pemerintahan Iran dalam implementasi perjanjian berkaitan dengan pengayaan uranium nuklir pada sepanjang tahun 2019 sesuai dengan perjanjian nuklir JCPOA pada tahun 2015.en_US
dc.description.abstractKesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action tahun 2015 dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol pemanfaatan penggunaan nuklir internasional secara damai. International Atomic Energy Agency bertindak sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab atas implementasi perjanjian oleh negara-negara yang tergabung di dalam JCPOA. Iran menandatangani perjanjian JCPOA dengan 6 negara P5+1 yakni Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, dan Jerman, hal itu dikarenakan kemampuan pengayaan uranium yang dimiliki oleh Iran harus dibatasi melalui kesepakatan JCPOA. IAEA diberikan mandat untuk mengontrol dan mengawasi implementasi negara-negara dalam menjalankan perjanjian JCPOA. Namun pada sepanjang tahun 2019, Iran terbukti melakukan 7 pelanggaran terkait pengayaan uranium. Hal itu mengindikasikan IAEA mengalami disfungsi dalam menangani kasus tersebut. Pada penelitian ini indikasi disfungsi yang dialami IAEA dianalisis melalui empat indikator di dalam teori disfungsi. Melalui dimensi material yang berkaitan dengan lemahnya birokrasi politik IAEA serta ketidakmampuan IAEA dalam menghadapi ambisi Iran. Pada dimensi kultural yang berkaitan generalisasi aturan yang tidak efisien serta IAEA dipandang hanya sebagai simbol dari legitimasi namun tidak memperhatikan efektivitas dari kebijakan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi IAEA dalam menangani kasus pengayaan uranium Iran pada tahun 2019 disebabkan oleh 4 faktor. Faktor pertama adalah birokrasi politik yang dimiliki oleh IAEA cenderung lemah. Faktor kedua adalah IAEA dilihat sebagai organisasi internasional yang cenderung normative. Faktor ketiga adalah generalisasai aturan yang diterapkan oleh IAEA yang tidak adaptif dalam situasi politik Iran. Faktor terakhir adalah IAEA hanya dilihat hanya sebagai simbol legitimasi dan sebaliknya tidak berfokus pada efektivitas dan efisiensi kebijakan. Penelitian ini menyimpulkan birokrasi politik IAEA yang lemah sebagai faktor yang mendominasi diantara faktor lainhya dalam menyebabkan IAEA mengalami disfungsi.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.titleDISFUNGSI INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) DALAM KASUS PELANGGARAN BATAS PENGAYAAN URANIUM OLEH IRAN PADA TAHUN 2019en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record