dc.description.abstract | Serangan ransomware WannaCry pada tahun 2017 menjadi peristiwa global yang
menguji kemampuan ketahanan siber berbagai negara, termasuk Indonesia dan Singapura.
Penelitian ini bertujuan membandingkan kebijakan keamanan siber kedua negara dengan
menggunakan Teori Ketahanan Siber yang mencakup empat dimensi utama: anticipate,
withstand, recover, dan adapt. Kerangka teori ini berakar pada konsep resilience
engineering (Hollnagel, Woods, & Leveson, 2006) yang kemudian diadaptasi ke ranah
keamanan siber oleh Linkov et al. (2013). Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif deskriptif oleh Cresswel (2014) dengan teknik pengumpulan data melalui studi
pustaka, analisis dokumen kebijakan, dan telaah laporan resmi dari lembaga terkait. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Singapura memiliki tingkat ketahanan siber yang tinggi
sejak tahap antisipasi, didukung oleh sistem pemantauan ancaman terintegrasi, pembaruan
keamanan yang konsisten, serta program edukasi publik yang berkelanjutan. Pada tahap
bertahan, Singapura mampu menjaga sebagian besar sektor kritis tetap beroperasi melalui
segmentasi jaringan, koordinasi lintas lembaga yang cepat, dan prosedur tanggap darurat
yang jelas. Sebaliknya, Indonesia mengalami gangguan yang lebih luas, terutama di sektor
kesehatan, akibat lemahnya pembaruan sistem dan minimnya redundansi operasional. | en_US |