PENGARUH VARIASI GRADIENT GEOTHERMAL TERHADAP ESTIMASI CADANGAN LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN METODE VOLUMETRIK

Abstract

Sumur dengan water cutt tinggi berpotensi mendekati batas ekonomi dan berisiko ditutup. Alih-alih tidak produktif, mengubah sumur minyak dan gas ini menjadi sumber energi panas bumi menawarkan solusi ekonomis dan mendukung target bauran energi terbarukan pemerintah hingga 31% pada tahun 2050, sejalan dengan proyeksi konsumsi energi sebesar 481,1 MTOE. Keberhasilan konversi ini telah terbukti di Amerika Serikat (Teapot Dome, 250 kW) dan Cina (Huabei, 400 kW), yang menunjukkan potensi air terproduksi bersuhu tinggi untuk pembangkit listrik Organic Rankine Cycle (ORC) dengan keuntungan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Studi ini mengkaji potensi konversi tersebut di Indonesia. Penelitian ini menganalisis potensi panas bumi dari sumur migas pasca produksi di lima pulau besar Indonesia: Papua, Sulawesi, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Data sumur diperoleh dari Migas Data Repository (MDR) SKK Migas, dan evaluasi potensi dilakukan menggunakan Metode Volumetrik Stored Heat. Hasil analisis menunjukkan variasi yang signifikan pada gradien geotermal dan potensi listrik antar pulau. Pulau Papua mencatat gradien tertinggi (48.95∘C/Km) dengan potensi listrik tertinggi (0.241 MWe), diikuti oleh Sulawesi (48.93C/Km, 0.241 MWe), Sumatera (48.57∘C/Km, 0.237 MWe), dan Jawa (47.34∘C/Km, 0.224 MWe). Sebaliknya, Pulau Kalimantan menunjukkan gradien geotermal dan potensi listrik terendah (37.50∘C/Km, 0.099 MWe), kondisi yang dapat dikaitkan dengan lokasinya di luar Cincin Api Pasifik dan aliran panas yang lebih rendah. Studi ini memastikan bahwa gradien geotermal berbanding lurus dengan potensi daya listrik yang dapat dihasilkan dari sumber panas bumi.